Air Asia, maskapai penerbangan murah terbesar di Asia, kabarnya akan segera mengambil alih Batavia Air. Kejadian ini tampaknya memang sudah agak lama terdengar kabar burungnya.
Bahkan, lebih dari itu, jauh sebelum Batavia, sudah beredar gosip tentang akan dijualnya, atau akuisisi, atau entah apa namanya, maskapai-maskapai penerbangan dalam negeri kecuali Garuda dan Merpati. Spekulasi dari itu semua sebenarnya sederhana saja.
Maskapai-maskapai penerbangan tersebut adalah sebuah produk dari respons pebisnis terhadap meningkatnya pasar angkutan udara yang sangat menggiurkan tersebut. Proyek yang tampaknya memang hanya akan menggunakan momen mengambil keuntungan sesaat, tergambar jelas dari meningkatnya kecelakaan pesawat terbang sejak 2000-an.
Itu sebabnya, memang hanya permasalahan waktu saja, maskapai-maskapai tersebut akan dijual atau akan diambil alih perusahaan yang relatif lebih profesional.
Yang sangat disayangkan nantinya, walaupun satu-dua telah terjadi, maskapai-maskapai penerbangan tersebut hanya akan menjadi maskapai penerbangan jadi-jadian dalam negeri. Maskapai-maskapai itu akan hanya terlihat sebagai maskapai milik Indonesia, tetapi sesungguhnya milik negara lain.
Banyak yang bisa menjadi barometer kondisi ini. Misalnya, secara tiba-tiba muncul maskapai penerbangan yang dalam waktu relatif pendek kemudian mampu berkembang secara fantastis dengan antara lain membeli armada baru dengan jumlah ratusan pesawat terbang.
Sementara itu, Garuda dan Merpati yang sudah puluhan tahun berkiprah, tetap saja terseok-seok jalannya. Sementara itu, rekan-rekan seperjuangannya bubar jalan alias bangkrut.
Belum lagi bila kita melihat bagaimana manajemen penerbangan di negeri ini yang tengah mengalami banyak kesulitan. Hal itu bisa dilihat terkait tertinggalnya fasilitas infrastruktur penerbangan. Hampir semua bandara atau aerodrome mengalami kelebihan kapasitas yang tidak tangung-tanggung.
Gambaran semua ini sebenarnya memperlihatkan betapa pengaturan dunia penerbangan sipil di Indonesia tidak atau belum tertata baik. Semua itu seolah berkembang dengan sendirinya tanpa arah yang jelas.
Pada tingkat tinggi dalam pemerintahan, seharusnya ada satu lembaga khusus yang harus menangani masalah ini dengan serius. Penerbangan niaga di Indonesia, dengan wujud negara kepulauan dan letak strategis, selayaknya ditata sebagai potensi yang sangat menjanjikan. Aeropolitik sudah saatnya manggung di sini, menggantikan posisi geopolitik sebagai referensi pertimbangan strategis.
Bung Karno dalam pidato di Hari Penerbangan Nasional 9 April 1962 mengatakan: “…, tanah air kita adalah tanah air kepulauan, tanah air yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang dipisahkan satu dari yang lain oleh samudra-samudra dan lautan-lautan.
Tanah air kita ini adalah ditakdirkan oleh Allah SWT terletak antara dua benua dan dua samudra. Maka bangsa yang hidup di atas tanah air yang demikian itu hanyalah bisa menjadi satu bangsa yang kuat jikalau ia jaya bukan saja di lapangan komunikasi darat, tetapi juga di lapangan komunikasi laut dan di dalam abad ke-20 ini dan seterusnya di lapangan komunikasi udara.”
Dengan perkembangan teknologi, terutama teknologi dirgantara, sebenarnya Indonesia merupakan negara yang paling besar peluangnya untuk memetik manfaat dari kondisi tersebut.
Penataan yang antara lain berupa kebijakan pemanfaatan wilayah udara nasional adalah kata kuncinya. Penataan di tingkat yang strategis tentu saja, yaitu satu kelembagaan yang langsung berada di bawah kepala negara atau kepala pemerintahan.
Realitasnya, kita punya Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (Depanri) yang di Peraturan Pemerintah No 5 Tahun 1955 diberi nama Dewan Penerbangan saja, lalu berubah jadi Depanri (Dewan Penerbangan dan Antariksa Republik Indonesia) pada 1963. Presiden adalah Ketua Depanri ini. Bahkan, KSAU juga sebagai anggota Depanri.
Menristek adalah anggota (untuk industri penerbangannya). Di Keppres No 99 Tahun 1993 dan Keppres No 132 Tahun 1998, tertulis bahwa Depanri memiliki kedudukan sebagai Forum Koordinasi Tingkat Tinggi di bidang ”Kebijakan Pemanfaatan Wilayah Udara Nasional dan Antariksa bagi Penerbangan, Telekomunikasi dan Kepentingan Nasional”.
Tugasnya membantu presiden Republik Indonesia dalam merumuskan kebijaksanaan umum di bidang penerbangan dan antariksa.
Fungsinya: (a) merumuskan kebijakan pemanfaatan wilayah udara nasional dan antariksa bagi penerbangan, telekomunikasi, dan kepentingan nasional lainnya; dan (b) memberikan pertimbangan, pendapat, maupun saran kepada Presiden mengenai pengaturan dan pemanfaatan wilayah udara dan antariksa di bidang-bidang tersebut.
Kebijakan
Menyimak uraian itu semua, kiranya menjadi jelas: amburadulnya pemanfaatan wilayah udara nasional sebenarnya bermula dari belum adanya rumusan kebijakan yang seharusnya muncul dari forum koordinasi tingkat tinggi di pemerintah pusat.
Mudah-mudahan belumlah sangat terlambat bila penataan ulang bagi kebijakan tingkat strategis dapat diwujudkan segera, sehingga kekayaan apa pun yang terdapat di bumi tercinta ini tidak kemudian jatuh ke orang lain.
Pertanyaannya: di manakah gerangan “Our National Interest” kita berada? Jangan-jangan, memang kita belum memiliki apa yang dikenal dengan kepentingan nasional tersebut? Pilu hati rasanya bila dalam waktu dekat ini kita akan menyaksikan lagi maskapai-maskapai penerbangan nasional dibeli negara lain.
Akan tetapi, memang wajar sekali, bila selalu saja akan muncul perspektif berlawanan dari momentum semacam ini. Beberapa kalangan justru sudah tidak sabar lagi menjual saja segera semua maskapai penerbangan dan semua pengelolaan infrastruktur penerbangan kepada asing.
Dengan demikian, dunia penerbangan kita akan lebih cepat menjadi jauh lebih baik. Mereka ini adalah kalangan yang sudah berpengalaman banyak atas kenyataan bahwa suatu hal bila sudah dilakukan orang asing, semuanya akan menjadi lebih baik. Astaghfirullahaladzim.
Jakata 30 Juli 2012
Resources:http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2012/07/30/batavia-air-dibeli-air-asia-what-next/