VIVAnews - Maskapai Mandala Air mendadak mengumumkan berhenti operasi sementara selama 45 hari. Pengumuman ini cukup mengejutkan karena Mandala selama ini dikenal beroperasi dengan baik dan menjadi satu-satunya maskapai swasta yang mendapatkan sertifikasi keselamatan dari Asosiasi Perusahaan Penerbangan Internasional (IATA).
Direktur Utama Mandala Diono Nurjadin mengaku maskapai yang dipimpinnya mengalami kerugian bisnis, dan kesulitan keuangan. Mandala pun mengajukan permohonan penundaan pembayaran utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga, Jakarta Pusat.
Dengan permohonan itu, Mandala berharap memiliki waktu untuk merestrukturisasi keuangan perusahaan, sekaligus memberi ruang bagi investor baru masuk menyuntikan dana ke maskapai berusia 42 tahun tersebut. Maskapai itu juga mengembalikan lima pesawat Airbus yang disewa dari Indigo, perusahaan pemilik pesawat yang sekaligus menjadi pemegang 49 persen saham Mandala.
Limbungnya perusahaan penerbangan tak hanya dialami oleh Mandala. Maskapai terbesar Indonesia, Garuda Indonesia juga harus terseok-seok karena beban utang yang besar sebelum akhirnya memiliki kinerja positif seperti sekarang. Maskapai besar dunia, seperti Jepang Airlines (JAL) juga mengalami kebangkrutan pada awal tahun lalu. Bahkan limbungnya JAL merupakan kebangkrutan terbesar di Jepang.
JAL Tak kuasa menanggung beban utang korporat sekitar US$25,6 miliar. JAL mengajukan perlindungan pailit kepada Pengadilan Distrik di Tokyo. Maskapai itu juga dibebani dengan pembayaran gaji dan pensiun yang terus membengkak dan rute domestik nirlaba yang secara politis wajib dipertahankan.
JAL resmi mengajukan perlindungan pailit 19 Januari 2010. Maskapai itu harus mengalami perombakan besar-besaran agar keuangannya bisa sehat kembali dan tidak sampai dilikuidasi.
Dalam proses restrukturisasi itu, JAL terpaksa memberhentikan 15.661 pekerja atau sepertiga dari total karyawan tetap JAL hingga Maret 2013, mengurangi jatah pensiun pekerja, dan mengurangi rute layanan, termasuk ke Bali. JAL juga terpaksa mempensiunkan dini semua armada pesawat Boeing 747 Jumbo yang berjumlah 37 unit, 16 unit pesawat MD-90s. Maskapai itu menggunakan pesawat yang berkapasitas lebih kecil.
Sebelum bangkrut, JAL memiliki 279 pesawat, melayani 220 bandara di 35 negara dan wilayah termasuk 59 bandara domestik.
Jepang membantu menyuntik dana sebesar US$10 miliar agar JAL beroperasi selama restrukturisasi di bawah perlindungan kepailitan. Para kreditur juga memutihkan utang JAL sebesar US$8 miliar.
Gagalnya JAL membuat Presiden JAL pada saat itu, Haruka Nishimatsu mengundurkan diri dari jabatannya. Ia membungkuk di depan para wartawan sebagai pertanda maaf karena gagal menyelamatkan perusahaan yang dia kelola itu.
Jepang Airlines terus mengudara di bawah perlindungan kepailitan. Dalam minggu ini, Jepang Airlines dan American Airlines bekerja sama untuk memberikan tarif murah, dengan rute dan penerbangan di seluruh Pasifik. Regulator Amerika dan Jepang memberikan persetujuan bagi keduanya untuk memperkuat aliansi pada akhir tahun lalu, dengan menandatangani kesepakatan "open skies" untuk mendorong perjalanan udara. Kedua perusahaan itu telah bekerjasama selama 15 tahun terakhir.
Dengan aliansi itu, keduanya bisa menangguk pendapatan 13 miliar yen (US$156 juta). Kerjasama ini juga penting bagi JAL untuk mengembalikan bisnisnya.
Kerjasama itu memperkenalkan tarif murah seperti rute Tokyo-San Francisco atau Los Angeles (PP) dari 249.000 yen (US$3.000) turun menjadi 69.000 yen (US$830). Namun tak semua rute menawarkan tarif murah.
Akankah Mandala bangkit kembali?
• VIVAnews